Materi Pelajaran Sains di Sekolah
Diedit dan Ditambahkan
Oleh:
Endang Jaenudin S.Pd.
SMAN 1 Banjar
dan
Arip Nurahman, Ade Akhyar N., Ridwan Firdaus,. Anton Timur J. dan Agung Febrianto
Indonesia University of Education
klik di bawah untuk National Academic Press
Abstract:
Science education is the field concerned with sharing science content and process with individuals not traditionally considered part of the scientific community. The target individuals may be children, college students, or adults within the general public. The field of science education comprises science content, some sociology, and some teaching pedagogy.The standards for science education provide expectations for the development of understanding for students through the entire course of their k-12 education. The traditional subjects included in the standards are physical, life, and earth and space sciences.
Keyword: Science, technology, society and environment education
IntroductionScience education in secondary schools began in the UK around 1870, but it was not widespread until much later. The first step came when the British Academy for the Advancement of Science (BAAS) published a report in 1867 (Layton, 1981). BAAS promoted teaching of “pure science” and training of the “scientific habit of mind.” The progressive education movement of the time supported the ideology of mental training through the sciences. BAAS emphasized separately pre-professional training in secondary science education. In this way, future BAAS members could be prepared.
The initial development of science teaching was slowed by the lack of qualified teachers. One key development was the founding of the first London School Board in 1870, which discussed the school curriculum; another was the initiation of courses to supply the country with trained science teachers. In both cases the influence of Thomas Henry Huxley was critical (see especially Thomas Henry Huxley#Educational influence). John Tyndall was also influential in the teaching of physical science.[1]
In the US, science education was a scatter of subjects prior to its standardization in the 1890’s (Del Giorno, 1969). The development of a science curriculum in the US emerged gradually after extended debate between two ideologies, citizen science and pre-professional training. The National Education Association formed a Committee of Ten in 1892 to formulate a curriculum.The committee was composed of educators and was chaired by Charles Eliot of Harvard University. Two major recommendations of the committee were to introduce core subjects and teaching subjects for college-bound and terminal students. The committee recommended eight years of elementary education and four years of secondary education for students. According to the Committee of Ten, the goal of high school was to prepare all students to do well in life, contributing to their well-being and the good of society. Another goal was to prepare some students to succeed in college. [2]
This committee supported the citizen science approach focused on mental training and withheld performance in science studies from consideration for college entrance (Hurd, 1991). The BAAS encouraged their longer standing model in the UK (Jenkins, 1985). The US adopted a curriculum that was similar to the UK secondary schools; it included both pre-professional training and mental training.
The format of shared mental training and pre-professional training consistently dominated the curriculum from its inception to now. However, the movement to incorporate a humanistic approach, such as is science, technology, society and environment education is growing and being implemented more broadly in the late 20th century (Aikenhead, 1994). Reports by the American Academy for the Advancement of Science (AAAS), including Project 2061, and by the National Committee on Science Education Standards and Assessment detail goals for science education that link classroom science to practical applications and societal implications.
Contents Sains dapat mempunyai beragam arti dan pendekatan. Hal yang sama juga terjadi ketika kita mengidetifikasi fokus utama apa yang akan diajarkan pada pelajaran sains di sekolah. Paling tidak terdapat tiga fokus utama pengajaran sains di sekolah, yaitu dapat berbentuk:
- Produk dari sains, yaitu pemberian berbagai pengetahuan ilmiah yang dianggap penting untuk diketahui siswa.
- Sains sebagai proses, yang berkonsentrasi pada sains sebagia metoda pemecahan masalah untuk mengembangkan keahlian siswa dalam memecahkan masalah.
- Pandangan yang lebih luas tentang sains, seperti dampak sains dan teknologi terhadap masyarakat
Seorang guru sains atau perancang kurikulum akan berpandangan bahwa ketiga komponen tersebut penting ada dalam pengajaran sains untuk mengembangkan pemahanan siswa tentang sains. Walaupun begitu pandangan berapa proporsi yang tepat dari masing-masing pendekatan akan merupakan sesuatu yang dapat diperdebatkan. Apalagi bila hal tersebut secara spesifik akan diajarkan pada tingkatan usia siswa tertentu ataupun dengan beragamnya kemampuan siswa dalam satu kelas, biasanya hanya seorang guru sains di sekolah yang lebih bisa menjawab.
Namun, terdapat pendekatan lain dalam pengajaran sains. Seorang guru dapat memperkaya pemahaman siswa tentang sains melalui berbagai pendekatan lain yaitu: sikap dan nilai ilmiah (termasuk didalamnya rasa ingin tahu tentang alam sekitar); pemahaman sifat alami sains (seperti pengetahuan mengenai proses dimana seorang ilmuwan mengembangkan ide-ide ilmiah baru); dan keterampilan individu dan sosial dari siswa.
Sains Sebagai Produk
Ketika ilmu pengetahuan ilmiah terus berkembang maju yang berisi berbagai penjelasan dan paparan berbagai penyataan yang telah divalidasi oleh para ilmuwan, ternyata hanya sebagaian kecil saja dari hal tersebut yang dapat diajarkan di sekolah. Malahan, hasil dari seleksi ini pun cenderung merupakan berbagai penyederhanaan dari pandangan ilmuwan dalam usaha untuk menjadikan sains lebih mudah dipahami oleh siswa sekolah. Hasil seleksi ini kemudian muncul diantaranya dalam bentuk dokumen kurikulum pengajaran sains sekolah serta silabusnya, buku teks, lembar kerja siswa maupun prosedur percobaan laboratorium.
Materi pelajaran sains yang diberikan di sekolah oleh perancang kurikulum sains biasanya dikenalkan relatif secara berurutan dan berlanjut sebagai persiapan untuk pelajaran di tingkat selanjutnya. Tujuan dari pengajaran sains sebagai produk ini adalah untuk mengembangkan pemahaman konseptual siswa terhadap sains. Isi pelajaran meliputi berbagai fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, hukum-hukum alam, model-model dan teori-teori yang membentuk pengetahuan formal ilmu pengetahuan. Disamping itu juga terdapat berbagai latihan pemecahan masalah baik secara tertulis maupun percobaan laboratorium yang umumnya mempunyai jawaban tunggal.
Hubungan sesungguhnya dari materi pelajaran sains di sekolah dengan sains yang absah pada saat ini tidaklah selalu sama. Hal ini dikarenakan usia siswa dan latar belakang pengetahuan yang terbatas, sehingga kebanyakan isi buku teks merupakan versi singkat dari pengetahuan sains yang valid di waktu tertentu atau versi terbatas dari pandangan sains mutakhir. Dalam kenyataannya sangat sedikit dari materi sains yang diajarkan di sekolah merupakan versi yang masih berlaku diantara ilmuwan saat ini. Akibatnya sains digunakan sesuai pandangan ilmuwan instrumentalis, atau sebagai model yang membantu secara bertahap perkembangan pemahaman siswa ke arah pandangan ilmiah yang sebenarnya.
Pengajaran sains melalui buku teks juga selalu ditampilkan dalam cabang-cabang sains seperti yang berlaku di universitas, yaitu dipisahkan dalam pelajaran-pelajaran: biologi, kimia dan fisika (yang termasuk didalamnya juga geologi dan astronomi). Pendekatan pengajaran sains melalui buku teks juga memunculkan focus yang bersifat pemindahan pengetahuan dari guru ke siswa dimana berbagai komponen pengetahuan sains tersebut (seperti konsep-konsep, hukum-hukum, teori-teori dsb.) biasanya ditampilkan sebagai kebenaran tunggal. Metoda pengajaran yang digunakan pun cenderung tradisional dimana peran guru sangat dominant. Kalau pun menggunakan metoda laboratorium, prosedur praktikumnya sebatas model ‘resep masak’ yang terstruktur dan berurutan serta bertujuan untuk memperkuat pemahaman siswa akan materi pelajaran yang telah diajarkan.
Sejarah pengajaran sains dunia, khususnya di negara barat yang kemudian berpengaruh ke berbagai negara lain seperti Indonesia, menunjukkan adanya perubahan pola pengajaran sains yang mendasar. Kesuksesan Uni Soviet tahun 1957 lalu dalam meluncurkan satelit pertama buatan manusia ke luar angkasa, membuat kaget Amerika Serikat dan mengakibatkan dipandang perlunya mengubah pendekatan pengajaran sains. Hasilnya adalah kurikulum pengajaran sains dengan pendekatan pada sains sebagai produk yang menerapkan pola yang biasa disebut scientists’ science (ilmu pengetahuan sebagaimana dipahami oleh ilmuwan). Melalui pendekatan ini, dikenal dengan kurikulum sains post-Sputnik, diharapkan siswa sejak awal terbiasa berpikir dan mempunyai pengetahuan seperti halnya ilmuwan. Berbagai riset tentang pengajaran sains ternyata menunjukkan bahwa sains sebagai produk pada pola post-Sputnik ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya beban pelajaran yang terlalu padat, tingkat abstraksi yang terlalu tinggi dan rumit bagi rata-rata siswa, serta pola dasar, struktur, urutan pelajaran sains yang bisa jadi memang tidak kondusif membuat siswa dengan mudah mempelajari sains. Sehingga berbagai usulan perbaikan pun dilontarkan baik berupa penyederhanaan materi yang perlu diajari siswa ataupun perubahan struktur pelajaran dengan maksud lebih mendekatkan dengan kehidupan nyata siswa.
Untuk pelajaran biologi sekolah misalnya, American Association for the Advancement of Science yang menerbitkan laporan pada tahun 1993 dengan nama “Benchmarks for Science Literacy” (juga dikenal dengan nama “Project 2061”) menyarankan cukup enam ide utama saja dalam biologi yang perlu dipelajari siswa. Pokok bahasan yang dianggap penting itu adalah: keberagaman mahluk hidup, hereditas, sel, interdependensi antara mahluk hidup, aliran materi dan energi, dan evolusi.
Sedangkan Australian Academy of Sciences membuat riset tentang pengajaran kimia di sekolah yang hasilnya adalah perlunya mengenalkan kimia berdasar fakta-fakta yang mudah dikenali siswa. Hasilnya adalah buku teks, terbit tahun 1984, dengan menyusun materi pelajaran berdasar tema dari teori komposisi alam dari zaman kuno yang berjudul “Elements of Chemistry: Earth, Air, Fire and Water”.
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa isi pelajaran sains sebagai produk pada siswa bisa mengalami pergeseran pendekatan sesuai perkembangan zaman dan riset terbaru, serta apa saja yang perlu diajarkan dan urutanya akan sangat tergantung dari analisis dan perencanaan yang dilakukan oleh guru mata pelajaran sains. Kurikulum yang terakhir diterapkan di Indonesia, disebut dengan KTSP (kurikulum tingkat satuan pelajaran) yang memakai acuan dengan istilah standar kompetensi dan kompetensi dasar lebih memberikan fleksibilitas pada guru dalam hal penyusunan pengajaran sains sebagai produk
Sains Sebagai Proses
Sains sebagai proses mempunyai pendekatan berbeda dengan sains sebagai produk. Fokus utamanya adalah dalam hal upaya sains untuk melakukan pemecahan masalah yang tertentu. Secara umum, hal ini berarti para siswa didorong untuk menggunakan ketrampilan yang dimiliki seperti halnya ketrampilan dan keahlian para ilmuwan dalam memecahkan masalah ilmiah. Berbagai keahlian dan ketrampilan ini sangat bernilai bagi siswa baik untuk memahami pelajaran sains maupun diluar konteks pelajaran.
Pengajaran sains sebagai proses menuntut perubahan metoda mengajar dari pola pengajaran sains sebagai produk. Pengajaran sains buku teks biasanya menggunakan proses pengajaran dalam urutan yang terstruktur secara baik dimana pengetahuan yang direncanakan bisa dipahami dengan baik oleh siswa, namun pengajaran sains sebagai proses menerapkan pola pengajaran guru yang tidak terstruktur. Hal ini tidaklah berarti akan lebih mudah, malahan akan lebih sulit dan membutuhkan kehalian dan ketrampilan mengorganisasi yang baik dari seorang guru sains. Para siswa diharapkan akan terlibat secara individu atau dalam kelompok kecil untuk melakukan rencana mereka sendiri. Pengaturan ada pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan bukannya mengatur.
Tentu saja pengajaran pola ini akan terasa mengancam kewibawaan guru. Ketika seorang guru mengajar dengan pola buku teks, dia menentukan tujuan pembelajaran dan dapat mengetahui secara pasti materi pelajaran yang akan diberikan. Namun, siswa yang diajarkan dengan metoda sains sebagai proses yang melakukan penelitian dan berhadapan dengan masalah nyata akan memunculkan pertanyaan yang tidak akan secara mudah dijawab, dan bisa jadi malah tidak ada jawaban yang dapat diketahui secara pasti.
Materi Pelajaran Sains di Sekolah
Pengajaran Sains, Teknologi dan Masyarakat
Pendekatan sains, teknologi dan masyarakat (STM) atau biasa juga di Indonesia disebut dengan Salingtemas (sains-lingkungan-teknologi-masyarakat) mulai berkembang pada dasarwarsa 70-an, sebagai reaksi dari pola pengajaran sains post-Sputnik. Titik penekanan dari pola ini adalah mengembangkan hubungan antara pengetahuan ilmiah siswa dengan pengalaman keseharian mereka. Paling tidak terdapat dua konteks dalam pedekatan STM ini.
Konteks pertama adalah interaksi sehari-hari siswa dengan dunia sekitarnya. Suatu pengetahuan ilmiah yang luas akan memperkaya kehidupan individu, juga membuat berbagai pengalaman untuk diinterpretasi pada tahap yang berbeda. Pengembaraan di kebun atau hutan misalnya, akan memperoleh suatu pengalaman yang lain bila si pengembara/siswa tersebut memiliki pengetahuan biologi dan geologi. Berhubungan dengan hal ini juga adalah ketika pengetahuan ilmiah digunakan dalam menyelesaikan masalah praktis yang bisa muncul kapan saja di sekitar rumah tangga, seperti memperbaiki mainan atau peralatan listrik yang rusak. Namun, hal ini sudah lama disadari bahwa jika guru ingin siswanya mampu melakukan aplikasi pengetahuan ilmiah, maka latihan yang diberikan untuk hal itu harus lebih banyak. Untuk kebanyakan siswa, hal ini tidak datang secara alami, dan pengetahuan serta ketrampilan yang dipelajari di kelas sains biasanya disimpan dalam “kotak ingatan” yang berbeda dengan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Konteks yang kedua melibatkan cakupan yang lebih luas antara sains melalui teknologi terhadap masyarakat, dengan tujuan ini pengajaran sains bergerak keluar dari sekedar pengajaran sains di kelas. Berbagai materi mulai dari dampak pencemaran udara terhadap lingkungan seperti efek rumah kaca yang berlanjut ke hujan asam, pemanasan global dan perubahan iklim dipelajari di kelas sains. Ruang lingkup STM lebih luas dari sekedar komponen sains dari hal tersebut, namun ke segala hal detil yang mempengaruhi kelangsungan hidup umat manusia secara keseluruhan. Pada pola ini pemahaman sains harus benar-benar dipahami dan ini melibatkan pengajaran sains pada tahapan yang lebih tinggi. Sehingga hal ini akan memberikan tantangan yang berarti bagi guru sains di kelas untuk menyesuaikan diri terhadap pembahasan permasalahan yang diulas dengan taraf pengetahuan siswa. Pembahasan berbagai permasalahan STM akan membawa kepada pemahaman hal apa yang perlu dilakukan untuk menangani atau mencegah hal tersebut terjadi serta faktor apa saja yang terlibat atau tidak terhadap masalah tersebut membawa berbagai pengetahuan dan kepercayaan di luar pengajaran sains, dan hal nilah yang harusnya diintregrasikan dalam pengetahuan ilmiah. Para siswa diharapkan untuk dapat mulai melihat bahwa walaupun pengetahuan ilmiah berada di belakang permasalahan tersebut namun hal itu tidaklah cukup, diharapkan siswa melakukan tindakan bijak sebagai anggota masyarakat dalam memelihara kelestarian alam. Sehingga siswa belajar menyadari beberapa hal keterbatasan dalam sains yang merupakan bekal berarti bagi kehidupannya.
Pendekatan Lainnya
Pendekatan sikap dan nilai ilmiah dapat dibedakan dapat dilakukan dalam dua penekanan yang berbeda. Yang pertama melibatkan usaha untuk mengembangkan berbagai sikap tersebut yang dilihat sebagai sifat-sifat ilmuwan yang bila dikembangkan akan membantu siswa menyelesaikan persoalan sejenis seperti halnya ilmuwan menyelesaikannya. Beberapa sikap tersebut diantaranya adalah :
- mengetahui butuhnya bukti sebelum membuat klaim pengetahuan
- mengetahui butuhnya berhati-hati ketika melakukan interpretasi pada hasil percobaan/pengamatan
- kemauan untuk mempertimbangkan interpretasi lain yang juga masuk akal
- kemauan untuk melakukan aktivitas percobaan secara hati-hati
- kemauan untuk mengecek bukti dan interpretasinya
- mengakui keterbatasan penyelidikan secara ilmiah
Penekanan yang kedua adalah mengembangkan sikap-sikap khusus terhadap alam sekitar, mata pelajaran selain sains ataupun dasar untuk karir masa depan seperti halnya sikap terhadap sains. Berbagai sikap tersebut seperti:
- rasa ingin tahu tentang alam fisik dan biologis dan bagaimana hal itu bekerja
- kesadaran bahwa sains dapat menyumbangkan hal untuk mengatasi masalah individu ataupun global
- suatu antusiasme terhadap pengetahuan ilmiah dan metodanya
- suatu pengakuan bahwa sains adalah aktivitas manusia bukan sesuatu yang mekanis
- suatu pengakuan pentingnya pemahaman ilmiah dalam dunia yang modern
- suatu kenyataan bahwa pengetahuan ilmiah bisa digunakan untuk maksud baik maupun jahat
- suatu pemahaman hubungan antara sains dan bentuk aktivitas manusia lainnya
- suatu pengakuan bahwa pengetahuan dan pemahaman sains berbeda dengan yang dilakukan sehari-hari
Berbagai sikap di atas secara jelas berhubungan dengan sains, dan akan berpotensi terus berkembang khususnya ketika siswa terlibat dalam pelajaran sains di sekolah. Namun, terdapat juga sikap-sikap positif lainnya yang mana seorang guru sains dapat juga meneguhkan dan memperkuatnya seperti rasa tanggung jawab, kesediaan untuk bekerja sama, toleransi, rasa percaya diri, menghargai orang lain, kebebasan, dapat dipercaya dan kejujuran intelektual.
Pengembangan sikap-sikap ini biasanya merupakan konsekwensi tidak langsung dari seluruh pengalaman di sekolah maupun di dunia luar. Tidak seorang guru pun atau sekumpulan kegiatan yang akan bertanggung jawab terhadap sikap siswa terhadap sains. Penelitian dalam pendidikan misalnya, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh hidden curriculum dibanding isi materi kurikulum terhadap cara pandang siswa terhadap dirinya, guru, sekolah maupun proses pendidikan. Namun, walaupun perubahan sikap adalah hal yang lambat dibanding pertambahan pengetahuan dan pengurukannya juga sulit dilakukan, hal ni tidak menjadikan bahwa hal itu tidak perlu dilakukan.
Pendekatan sifat alamiah dari sains adalah pendekatan yang membawa berbagai implikasi yang terkesan rumit baik bagi siswa maupun guru. Siswa yang belajar di kelas yang paling tidak mendapat tiga mata pelajaran sains (biologi, fisika dan kimia) akan berhadapan dengan beragam guru sains yang juga beragam sikap dan pandangannya tentang sains. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan kebingungan siswa, sudut pandang guru yang mana yang memang lebih tepat? Cara yang lebih baik adalah dengan mengakui adanya keberagaman pandangan tentang sains dan kesulitannya mencari suatu konsensus, untuk kemudian mendiskusikan kekuatan dan kelemahan berbagai pandangan tersebut. Salah satu cara yang telah diterapkan adalah dengan pendekatan sejarah dan filsafat sains (History and Philosophy of Science) yaitu dimana siswa terlibat dalam mempelajari dan menganalisa sebab-sebab historis dimana prestasi sains berlangsung
Satu hal yang akan menjadi sulit pada pendekatan ini adalah ketidaksetujuan diantara para ilmuwan. Berbagai penemuan baru dan aplikasinya akan diperdebatkan antara ilmuwan, misalnya tentang system klasifikasi mahluk hidup, usulan bagi suatu tindakan terhadap berbagai masalah medis atau lingkungan yang bisa melibatkan kepentingan seluruh umat manusia di bumi. Pandangan sains secara tradisional sedikit menempatkan pertentangan ini lebih-lebih untuk siswa sekolah, namun pandangan lebih modern hal ini menjadi sesuatu yang tak terpisahkan. Sehingga hal-hal yang diperdebatkan baik hal tersebut masalah ilmiah atau system nilai adalah hal yang berguna untuk didiskusikan.
Berbagai focus tersebut menggambarkan pentingnya sisi manusiawi dari sains. Biasanya siswa melihat sains sebagai suatu yang mekanis: para ilmuwan mengikuti sejumlah metoda untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Profil ilmuwan pun biasa digambarkan sebagai orang (biasanya laki-laki) yang berjas putih, serius dan melakukan tugas yang menjemukan. Kenyataannya, hal ini bisa menjadikan banyak siswa justru menghindari pelajaran sains atau menghindari profesi masa depan karir sebagai ilmuwan. Studi kasus sejarah juga dapat digunakan berbagai hal yang berkaitan.
Pendekatan kecakapan individu dan sosial adalah mengembangkan potensi siswa yang juga penting. Sains bukanlah berada dalam suatu posisi yang unik yang memberikan sumbangan terhadap perkembangan kecapakan ini, namun banyak pihak berpendapat bahwa semua guru harus mengembangkan kemampuan individu siswa seperti ketekunan, maupun kecakapan sosial seperti kerja sama. Jika anda sebagai guru mempercayainya, maka hal tersebut akan terlihat dari metoda mengajar yang anda dipraktekkan.
Sumber:
Dari berbagai sumber yang dipercaya
Tambahan bacaan dan sumber lainnya:
- ^ Bibby, Cyril 1959. T.H. Huxley: scientist, humanist and educator. Watts, London.
- ^ www.nd.edu/rbarger/www7/neacom10.html
- ^ National Science Foundation funding for informal science education http://www.nsf.gov/funding/pgm_summ.jsp?pims_id=5361
- ^ Kim Catcheside (2008). 'Poor lacking' choice of sciences. BBC News website. British Broadcasting Corporation. Retrieved on 2008-02-22.
- ^ Welcome to Twenty First Century Science
- Layton, D. (1981). The schooling of science in England, 1854-1939. In R. MacLeod & P.Collins (Eds.), The parliament of science (pp.188-210). Northwood, England: Science Reviews.
- Del Giorno, B.J. (1969). The impact of chaning scientific knowledge on science education in th United States since 1850. Science Education, 53, 191-195.
- Hurd, P.D. (1991). Closing the educational gaps between science, technology, and society. Theory into Practice, 30, 251-259.
- Jenkins, E. (1985). History of science education. In T. Husen & T.N. Postlethwaite (Eds.) International encyclopedia of education (pp. 4453-4456). Oxford: Pergamon Press.
- Aikenhead, G.S. (1994). What is STS teaching? In J. Solomon & G. Aikenhead (Eds.), STS education: International perspectives on reform (pp.74-59). New York: Teachers College Press.
- Dumitru, P. & Joyce, A. (2007) Public-private partnerships for maths, science and technology education. Proceedings of Discovery Days conference.
- European Schoolnet (2007) National and European Initiatives to promote science education in Europe. Insight portal.
See also
External links
School science how-to
Semoga Bermanfaat dan Terima Kasih